Friday, June 27, 2008

AKHIL BALIGH

"DISERET AJA, GEBUKIN TERUS TEMBAK KEPALANYA. DEMO KOK NYUSAHIN ORANG LAIN" kata-kata sangat provokatif ini adalah yang paling provokatif yang dapat Saya temukan diantara komentar teman-teman Saya di icon YM-nya pada saat terjadinya insiden Semanggi, yang entah insiden Semanggi keberapa. Walaupun sekilas, nampak jelas sekali teman Saya ini sangat jengkel dengan ulah demonstran yang nyata-nyata mengganggu ketertiban umum dijalan protokol ibukota, jalan yang sedianya dilewati hampir seluruh pelaku ekonomi di Jakarta khususnya dan di Indonesia umumnya.

Dalam suatu obrolan ringan, Saya dan beberapa teman berdiskusi. Sudah separah itukah masyarakat menilai aksi demo mahasiswa? sampai pada titik ekstrim teman saya mendukung aparat keamanan untuk melakukan tindakan sangat represif seperti itu? jawabannya terserah Anda semua yang menilai.

Yang pasti terlihat pada saat saya menonton berita di TV, mahasiswa yang tidak diperbolehkan masuk ke gedung DPR merobohkan pagar seharga milyaran rupiah itu, polisi dihujani batu oleh mahasiswa, polisi balas menghujani mahasiswa dengan batu, mahasiswa mengejek polisi dengan menepuk pantat seraya melecehkan polisi, polisi geram menghujani bogem mentah ke demonstran yang tertangkap, mahasiswa makin garang dengan membakar sebuah mobil dinas dari sebuah kementerian negara, sebuah mobil keluaran tahun 2006-an paling lama, sebuah mobil seharga kurang lebih 100 juta rupiah. 100 juta rupiah!.

Tiba-tiba Saya menjadi marah, sangat marah sekali dengan kelakuan para mahasiswa itu. Mereka pikir cari uang itu gampang? mereka pikir setelah uang itu terkumpul, akan sangat nikmat kala Saya harus membayar pajak? mereka pikir Saya senang melunasi pajak tetapi Saya juga yang harus awasi penggunaannya?

Saya tidak menutup mata banyak mahasiswa yang telah mempunyai penghasilan, bahkan jauh diatas Saya. Namun demikian apabila mereka sudah membayar pajak atas apa yang mereka hasilkan dan melihat barang-barang yang notabene dibeli dari pembayaran pajak, apakah lantas mereka akan tetap merobohkan, membakar dan merusak?

"Woi ... jangan robohin pagernya dong, emang pake duit lu bikinnya!, jangan bakar mobilnya dong, lu pikir pake duit lu belinya!" kira-kira seperti itulah kata-kata yang akan Saya lontarkan andai saja Saya ada di TKP.

Tapi kemudian Saya terhenyak dari segala amarah Saya.

"Woi ... jangan pukulin mahasiswa dong, emang lu pikir dia yang mau demo?, emang aspirasinya dia saja yang sedang mereka coba sampe-in?" Saya mencoba dewasa.

Tetapi dewasa bukan hanya masalah tidak memihak, dewasa adalah memikirkan kepentingan bersama titik. Demi kepentingan bersama, berbesar hatilah Bapak dan Ibu di DPR sana untuk sedikit memberikan ruang kepada Adik-Adik ini bertemu muka, berbesar hatilah Adik-Adik apabila Bapak dan Ibu di DPR sana sedang ada rapat sehingga belum bisa meluangkan waktu bertemu dengan kalian.

Tua itu pasti, namun dewasa itu pilihan. Dewasalah dalam memilih, pilihlah orang yang sudah dewasa!. Maafkan bila saya berlagak dewasa.

"Pagar 3 milyar, mobil dinas 100 juta, total 3 milyar 100 juta. Asyik, udah bisa ngajuin anggaran lagi nih" tiba-tiba seorang teman yang terlibat diskusi pelik ini berkata.

SINGKONG DIKASIH RAGI! TAPE DEH!

Yafi Rochadi, NPWP No. 47.114.825.4-076.000 hehehehehe.

Monday, June 23, 2008

SALKOMSEL

"Blog lu kurang! ... kurang banyak postingan!" kata seorang teman lama di SMA.

Lucunya lagi, teman saya ini sumpah demi ALLAH tidak pernah melontarkan sedikitpun kata pada saat kami sama-sama di SMA, not even hi and bye. Tetapi sekarang dengan dibantu milis eksklusif kami, banyak dari kami yang sudah tercerai-berai entah kemana bersatu kembali dengan lagu kebangsaan nostalgia SMA.

Ada yang dahulu jadi 'patokan' angkatan sekarang sudah jadi polisi sukses, ada yang sudah menetapkan diri menjadi enterpreneur sejati, ada yang sudah berjasa menggulirkan reformasi 1998, ada yang menjadi direktur (bukan di reken batur lho), ada yang jadi wartawan dan ada yang biasa-biasa saja seperti Saya.

Kami yang tadinya tidak saling bertegur sapa, namun seiring laju usia, kami menjadi saling ramah tanpa ada rasa terpaksa sama sekali. What a wonderful society we have made.

Seiring berkembangnya jaman, dalam waktu yang tidak lama milis kami bertumbuh dan mempertemukan banyak lagi teman-teman lewat social networking seperti friendster, fupei, facebook, frenszone dan lain-lain. Terlihat dari pesan-pesan yang saling terkirim, sebenarnya kami pada saat itu sudah saling memperhatikan.

Si Anu yang sekelas di les bahasa inggris, si Inu yang tidak punya rok selain rok sekolah saking tomboy-nya si Inu itu, si Uni yang punya teman tapi mesra, si Ena yang pernah dihukum salah satu guru galak di SMA dan banyak lagi hal-hal yang ternyata membekas dalam hati setiap kami. Ternyata kami saling memperhatikan satu sama lain.

Ditengah kecamuk pikiran karena teman saya tadi bilang blog ini kurang postingan, ternyata saya sadar bahwa ada satu keindahan yang sebenarnya sudah kami temukan jauh pada saat kami belajar di SMA yaitu saling memperhatikan satu sama lain.

Dan pada saat milis kami terbentuk, barulah perhatian-perhatian tersebut terkatakan pada satu sama lain. Tentunya dikarenakan kami berasal dari satu SMA, sehingga bahasa nostalgia kami sama, pola komunikasi kami sama mengacu pada sekolah kami dahulu.

Tiba-tiba Saya berpikir, bukankah Indonesia bisa diumpamakan sebuah sekolah?, bukankah rakyat Indonesia bisa diumpamakan murid-murid sekolah?, bukankah kita dapat saling memperhatikan karena berasal dari satu sekolah?, mengapa kita harus menunggu 'lulus' dahulu baru saling memperhatikan?, kenapa tidak dari sekarang?, dan banyak lagi yang Saya pikirkan tentang kenapa bangsa ini tidak saling memperhatikan.

Terus terang saat ini saya hanya dapat bersyukur saya bisa menambah postingan blog Saya ini, namun apabila Anda bisa melakukan lebih, kenapa tidak?

SALam KOMpak SELalu!

Friday, June 13, 2008

SANG IMAM

Jum'at minggu yang lalu, Saya shalat di masjid dekat kantor. Penuh sesak dengan para jama'ah yang lain, Saya pun akhirnya mendapat tempat duduk untuk segera mendengarkan khotbah. Ternyata hari itu ceramah dibawakan dengan sangat mendayu-dayu dan dengan ragam tata bahasa yang puitis. Beberapa jama'ah mulai terlihat terkantuk-kantuk mendengarkan khotbah tersebut termasuk Saya sendiri. Beruntunglah apabila disaat shalat Jum'at, orang yang tertidur tidak perlu mengambil air wudhu lagi.

Sampai waktunya shalat didirikan, kembali sang imam membacakan surat dan bacaan shalat dengan mendayu-dayu membuat para jama'ah meng-amin-kan surat Al Fatihah dengan sangat panjang dan suara yang sayup-sayup sampai cenderung tak bertenaga.

Hari ini, Saya shalat Jum'at masih di masjid dekat kantor, tetap penuh sesak, tetap mendapat tempat duduk walaupun sesak namun ada yang lain dihari itu. Hari ini sang Khatib berkhutbah dengan penuh semangat, dengan menyala-nyala, sangat berapi-api. Terlihat sangat jelas perubahan suasana dari minggu lalu, hampir semua jama'ah mendengarkan dengan seksama dan dengan mata terbelalak lebar, sebagian bahkan mengangguk-angguk seperti mengerti (atau memang akhirnya mereka mengerti). Mereka terlihat lebih bersemangat.

Kemudian sampai waktunya shalat didirikan, sang Imam yang tadi juga merangkap sebagai khatib membacakan surat dan bacaan shalat dengan pola yang sama ketika Ia membawakan khutbah. Sangat bersemangat.

Tiba waktu meng-amin-kan surat Al Fatihah yang dibaca sang Imam, para jama'ah seraya berteriak lantang menyuarakan kata "amin". Sama semangatnya dengan sang Imam, sama berapi-apinya dengan sang Imam.

Kembali ke kantor, Saya berpikir dalam hati. Kalau saja pemimpin negara ini sama dengan sang Imam tadi, bersemangat dan berapi-api, tentu "Jama'ah" nya akan serta merta mengikuti pemimpinnya. Mereka akan kembali bersemangat menghadapi segala persoalan baik persoalan diri maupun persoalan negara ini.

Tapi siapalah Saya di negara ini. Tidak lebih dari rakyat yang dipimpin oleh pemimpin yang mendayu-dayu ditengah rakyat yang hampir tertidur entah karena lelah atau memang malas mendengar.

Dan pada akhirnya walaupun berpoligami (sungguh ini tidak ada hubungannya) Aa' Gym memang benar. Mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Saya mau mulai dari sekarang. Eng ing eng ...

Sunday, June 1, 2008

HAM

Hak Azasi Manusia, sebuah kalimat sakti mandraguna di negeri ini. Semua tentang HAM, semua mengenai HAM, semua mengurusi HAM. Sejenak saya berpikir apakah memang sangat sakti HAM ini?, dan setelah berpikir agak lama dan agak pusing dibuatnya, saya menemukan jawaban bahwa HAM memang sakti!, sangat sakti!.

Dia bisa membuat aparat keamanan negeri ini termehek-mehek mengelola manajemen keamanan. Dia bisa membuat siapapun masuk TV jika membicarakannya, dia bisa memberikan makan kepada setiap umat yang mengelolanya bahkan hanya meneriakkan namanya. Dia bisa segalanya.

Aktivis HAM, pejuang HAM, pemberani HAM atau apalah namanya merupakan sebuah titel yang sangat berpengaruh saat ini. HAM menjadi tolok ukur kepintaran jagad IPOLEKSOSBUDHANKAM (masih ingat apa kepanjangannya?).

Tapi sekarang marilah kita sejenak berpikir tentang Hak. Saya yakin dibelahan dunia manapun bahkan tertulis di kitab suci agama apapun hak akan berhak diperoleh apabila sudah menjalankan kewajiban (betul?), kita berhak mendapatkan gaji apabila sudah menjalankan kewajiban berkantor selama satu bulan, kita berhak mendapat pahala apabila sudah menjalankan kewajiban syariat yang ditetapkan.

Pria berhak mempersunting wanita jika sudah menjalankan kewajiban antara lain menyatakan cintanya kepada sang wanita, menjalankan kewajiban memenuhi kebutuhan lahir bathin sang wanita bahkan berhak beristri lebih dari satu apabila kewajibannya untuk adil seadil-adilnya bisa Ia jalankan (sungguh hanya Nabi Muhammad SAW yang bisa, percayalah!).

Kembali ke masalah HAM, pertanyaannya adalah apakah HAM hanya dimiliki segelintir orang saja? hanya milik mahasiswa saja?, hanya milik orang yang bukan penegak disiplin saja? jika jawabannya ya, maka sungguh Anda tidak berhak menyatakan hal tersebut.

Hak Azasi Manusia juga dimiliki oleh polisi & tentara, karena mereka juga MANUSIA dan ALLAH SWT mentakdirkan mereka menjadi aparat penegak hukum. Mereka berhak dihormati, mereka berhak diberikan penghargaan setinggi-tingginya atas kerja mereka mengamankan negeri ini, mereka berhak diberi sedikit luapan terima kasih yang saat ini terbanjiri untuk para pejuang HAM, baik yang sudah meninggal, atau yang akan meninggal (karena sejatinya semua orang akan meninggal bukan?).

Mahasiswa berhak melakukan demo jika sudah melapor dan diberikan ijin, melakukan demo dengan suasana yang kondusif, melakukan demo sesuai aturan. Semuanya diatur agar masyarakat yang karena haknya tidak ingin larut dalam euphoria democrazy ini tidak terkena imbas semisal macet dan lain-lain.

Polisi berhak untuk tidak dilempari bom molotov (karena buat mereka lebih baik mati tertembus peluru daripada terbakar hidup-hidup), polisi berhak untuk tidak dikata-katai oleh kata-kata kotor karena sejatinya mereka juga manusia biasa.

Jadi kalau mahasiswa hanya sekedar berteriak melepaskan penat keadaan negara ini tanpa melakukan hal yang harus ditindak tegas, saya pikir tentunya tidak akan ada istilah "penyerangan" kedalam kampus.

Saya hanya membayangkan para teman penegak hukum kita yang pada saat pagi berangkat kerja sudah di-ribet-kan dengan urusan uang sekolah anak, kontrakan rumah yang belum terbayar, angkutan umum yang menjerat leher dan ransum yang hanya nasi, telor dan sayur. Saya hanya membayangkan alangkah hebatnya mereka dengan segala macam beban hidup tersebut masih bisa menahan emosi untuk tidak bertindak represif.

Namun bayangan saya ada yang benar ada yang salah tentunya. Benar mereka juga terhimpit beban hidup sama seperti teman-teman mahasiswa dan keluarganya, namun salah saya membayangkan mereka setara Nabi atau Rasul yang mempunyai kesabaran tingkat sangat maha tinggi, mereka hanya manusia biasa.

Mereka hanya "manusia", salah satu kata yang merangkaikan kalimat "Hak Azasi Manusia".

Jadi marilah kita tidak cepat-cepat menyimpulkan bahwa polisi adalah pelanggar HAM dan kita yang orang sipil merupakan pemilik HAM sejati. Jika kita meng-klaim diri kita adalah manusia, maka kita berkewajiban menjaga perasaan manusia yang lain dan oleh sebab itu, kita akan diberikan hak untuk hidup damai sejahtera oleh ALLAH SWT.

By the way, Saya bukan pembela polisi dan juga bukan pemusuh mahasiswa, bahkan mobil saya sudah tersangkut masalah dengan polisi tiga tahun belakangan ini, tentu masalah saya ini bisa selesai dengan cara yang anda pasti tahu, namun pemikiran "kalo dicubit itu sakit, makanya jangan nyubit" sangatlah benar adanya.