Sunday, October 25, 2015

EMANG SALAH SAYA APA?

Pernah baca headline "Istri Dibakar Suami Hidup-Hidup"? tentunya sering sekali bukan? apalagi jurnalisme yang sekarang kita anut menurut Saya si Bego bin Tolol ini adalah jurnalisme "yang penting headline". Makin 'nonjok' headlinenya, makin laku medianya.

Saat ini Saya sedang berpikir tentang sang suami yang tega membakar istrinya, lalu kenapa sang suami berani dan nekad melakukan kejahatan yang dia tahu akan ketahuan cepat atau lambat, kemudian saya persempit lagi ke pertanyaan dasar "emang salah saya apa?" yang berlaku dikedua belah pihak tentunya.

Mungkin sang suami adalah orang yang sangat pemarah dasarnya, ditambah keadaan ekonomi yang sangat menjerat leher ini dia semakin tidak dapat mengendalikan emosinya. Frustasi karena tidak dapat menyediakan kebutuhan lahir bagi keluarganya sang suami mungkin kemudian menjadi orang yang suka mabuk-mabukan (apalagi untuk mabuk sekarang lebih murah daripada untuk membeli sembako).

Karena lama tidak dapat menjalankan kewajiban lahiriah, dengan sendirinya kebutuhan batiniah akan distop oleh sang istri. Tambah pusing lagi kawan kita ini bukan?.

Sang istri yang tadinya sangat ramah dan menjaga sikap pada saat pacaran menjadi berubah juga 180 derajat kala sang suami pulang dengan tangan hampa, kata-kata kasar  yang menteror mental sang suami terburai lepas dari mulutnya. Sepanjang hari sepanjang waktu sepanjang masa.

Paling enak memang menyalahkan pemerintah atas keadaan ekonomi yang berujung krisis keluarga ini. Yang punya jabatan terhormat makin korup, yang tidak punya pekerjaan makin mabuk (dalam artian sebenarnya mabuk). With the perfect excuse, you can create the perfect crime and the perfect alibi (halah).

Tapi apakah memang harus begini jalannya? apakah Pancasila hanya menjadi kata-kata yang sekedar diucapkan saja pada saat harus diucapkan? padahal menurut Saya hanya pelu satu sila saja, ya! EKASILA! yaitu KETUHANAN YANG MAHA ESA. Ya lagi! setiap warganegara berkewajiban mempunyai Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan sebaik-baiknya. Menjalankan perintahNYA dan menjauhi laranganNYA.

Dan Saya yakin di agama manapun dan di kitab suci apapun, yang dijanjikan Tuhan adalah kita akan dapat bersikap adil dan beradab terhadap sesama manusia Indonesia, karena bersikap adil dan beradab, maka persatuan antar manusia Indonesia dapat dicapai sehingga tidak akan ada saling su'udzon antara pemimpin dan yang dipimpin, rakyat akan dapat dipimpin oleh sebuah permusyawaratan perwakilan sebagai hikmahnya, dan karena seluruh fungsi diatas dijalankan atas nama Tuhan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat akan dapat tercapai.

Kembali ke pertanyaan "emang salah saya apa?" apabila EKASILA tersebut dapat diwujudkan dengan penuh rasa tanggung jawab, maka separah-parahnya, Saya ulangi: separah-parahnya jika sang suami pulang tidak membawa hasil dan dalam keadaan mabuk, maka sang istri akan hanya berkata:

"Kok pulangnya mabuk Pa?, kan sayang uangnya bisa dibelikan beras untuk makan". 

dari pada kata-kata provokatif seperti:

"Udah gak dapet duit, yang ada dibeliin miras, udah mabok sekarang malah pulang kerumah lagi, dasar laki-laki gak tau diuntung!".

Tapi pesan Saya, kalau Anda adalah laki-laki, empatikan diri Anda jika punya istri yang sedemikian dajjal pula. Sehingga pastinya anda akan berpikir dua ribu kali jika ingin melakukan perbuatan tersebut diatas.

Bukan tidak mungkin kita kaum laki-laki memerlukan Komnas tandingan seperti Komnas Perlindungan Lelaki karena sejatinya undang-undang KDRT juga berlaku untuk laki-laki bukan, atau malah bisa mungkin korban KDRT lebih banyak laki-laki daripada perempuan, hanya saja yang terekspos media hanya wanita saja dengan dalih "headline-nya lebih nonjok".

Jadi, pernyataan "kalo dicubit sakit ya jangan nyubit" (kedua kalinya saya ungkapkan di blog ini) berlaku untuk sang suami dan sang istri, usahakanlah agar dielus-elus saja supaya sakitnya cepat hilang jika tercubit sambil berusaha menyampaikan pesan agar sang pasangan jangan mencubit lagi.

Menutup tulisan ini, Saya mau meng-klaim bahwa peribahasa "gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengah" sudah tidak dapat dipakai lagi. Bodoh sekali si pelanduk sudah tahu ada gajah berbaku hantam masih mau ada ditengah. Yang lebih cocok adalah "gajah bertarung dengan gajah, yang sudah pasti rusak adalah rumput tempat para gajah bertarung".  

Jika antar pasangan di Indonesia saja sudah bertarung, maka keadaan sekitar merekalah yang akan rusak, ya anaknya, ya keluarganya. Akhirnya kerusakan tersebut akan meluas seantero Indonesia.

---

Ditulis 18 Juli 2008. Karena satu dan lain hal harus dipindahkan ke blog ini.

No comments: